Kamis, 04 Agustus 2016

Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii)

oi oi.. ketemu lagi nih sama aku. kali ini penulis mau berbagi cerita saat penulis dulu PKL. tau PKL ? iya bener Praktik Kerja Lapangan. nah kebetulan aku dulu PKL dengan judul Manajemen Pemeliharaan Larva Udang Galah (Macrobracium rosenbergii) di UKBAP Samas, Yogyakarta.



eitz.. tenang-tenang, itu cuma sedikit kesenangan aku sama temen-temen PKL di Samas. iya, aku cuma ber 4 aja disana, tapi seru banget kok. Ya gimana dong, namanya PKL dipinggir pantai, jadi mantai terus, hihihihi

oke oke cukup basa-basinya, nah yuk sekarang kita kenali udang galah itu seperti apa dan bagaimana manajemen pemeliharaan larvanya.


MANAJEMEN PEMELIHARAAN LARVA UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) DI UNIT KERJA BUDIDAYA AIR PAYAU SAMAS YOGYAKARTA

I.             PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Udang galah (Macrobrachium rosenbergii) merupakan salah satu spesies udang air tawar di Indonesia. Udang galah merupakan udang yang paling populer dari keseluruhan udang air tawar dikarenakan ukuran tubuhnya yang besar dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi baik di pasar domestik maupun luar negeri. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) pada tahun 2001 telah menetapkan udang galah sebagai salah satu alternatif komoditas unggulan. Pangsa pasar yang besar serta kenggulan komparatif yang dimiliki udang galah menjadikan komoditas andalan dan mampu bersaing dengan produk negara lain. Untuk mencapai sasaran tersebut upaya pemuliaan udang galah menjadi salah satu alternatif terbaik (Hadie dan Hadie, 2002).
Selain pasar ekspor, prospek pasar udang galah di dalam negeri pun cukup menjanjikan. Saat ini, potensi pasar udang galah mencapai 10.500 ton per tahun. Jika total lahan budidaya udang galah di kolam air tawar seluas 500 hektar, rata-rata panen setiap hektarnya sebanyak 4 ton, sehingga pembudidaya udang galah di kolam air tawar baru bisa memasok udang galah sebanyak 2.000 ton per tahun atau 5,4 ton per hari untuk kebutuhan seluruh Indonesia. Angka ini masih sangat rendah dan jauh di bawah tingkat kebutuhan udang galah yang mencapai 28,7 ton per hari (Khairuman dan Amri, 2004).
Tingginya permintaan pasar terhadap udang galah, perlu diimbangi dengan produksi udang galah. Untuk meningkatkan produksi udang galah perlu adanya ketersediaan pasokan benih sehingga perlu dilakukan kegiatan pembenihan udang galah untuk memenuhi permintaan pasar tersebut. Namun demikian, penerapan teknologi dan pengelolaan budidaya yang kurang tepat hanya akan menurunkan kualitas induk yang selanjutnya juga akan mempengaruhi kualitas larva yang dihasilkan (Khasani, 2005).
Manajemen (pengelolaan) pemeliharaan larva sangat penting dalam budidaya perikanan, karena sampai saat ini produksi benih udang galah di tanah air masih terbatas jumlanya. Di samping jumlah panti pembenihan (hatchery) masih dapat dihitung dengan jari, produksi per siklusnya pun tidak dapat dikatakan besar. Disisi lain, permintaan benih udang galah oleh petani pembesaran tetap tinggi. Dengan demikian, petani tidak punya pilihan untuk memperoleh benih yang paling baik. Disamping itu, sebagian besar pembenihan udang galah yang ada saat ini masih mengandalkan induk-induk dari alam atau dari hasil pemeliharaan di kolam pembesaran. Artinya, dalam menghasilkn benih udang galah, manajemen induk yang baik dan mempertimbangkan sifat genetiknya masih belum berjalan baik. Petani masih dihadapkan pada kelangkaan benih dan seringkali menunggu antrian untuk dapat memperoleh benih tersebut (Ali, 2009).

1.2.       Pendekatan Masalah
Unit Kerja Budidaya Air Payau Samas merupakan salah satu unit kerja dari Balai Pengembangan Teknologi Kelautan dan Perikanan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Unit Kerja Budidaya Air Payau Samas bergerak dalam usaha budidaya udang galah. Unit kerja ini telah menerapkan teknologi yang dapat menjamin kualitas benih udang galah. Oleh karena itu penulis memilih Unit Kerja Budidaya Air Payau Samas, Yogyakarta sebagai lokasi praktek kerja lapangan. Kegiatan praktek kerja lapangan ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengalaman, dan keterampilan dalam bidang pembenihan udang galah khususnya manajemen pemeliharaan larva pada udang galah. Sampai saat ini, benur yang diproduksi hatchery belum dapat memenuhi kebutuhan yang ada. Kendalanya adalah kurang stok induk udang, makanan yang kurang cocok, serta teknik pemeliharaan larva dan pengelolaan yang belum memadai, hal ini menyebabkan produksi rendah. Masalah yang dihadapi dalam melakukan usaha pemeliharaan larva udang galah adalah keterbatasan pengalaman dan teknologi yang dapat menjamin benih yang dihasilkan akan berkualitas baik. Salah satu upaya guna mendapatkan  benur berkualitas baik yaitu selalu mengupayakan manajemen pemeliharaan yang optimal untuk pemeliharaan larva.

1.3.       Tujuan
Tujuan dilaksanakannya Praktek Kerja Lapangan (PKL) adalah untuk mengetahui manajemen pemeliharaan larva udang galah di Unit Kerja Budidaya Air Payau (UKBAP) Samas.

1.4.       Manfaat
Kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini memberikan manfaat berupa pengalaman kerja di lapangan serta informasi mengenai manajemen pemeliharaan larva udang galah (Macrobrachium rosenbergii) yang diterapkan di Unit Kerja Budidaya Air Payau (UKBAP) Samas.


1.5.       Waktu dan Tempat
Kegiatan Praktek Kerja Lapangan ini dilaksanakan pada tanggal 29 Januari 2015 sampai dengan 23 Februari 2015 bertempat di Unit Kerja Budidaya Air Payau (UKBAP) Samas, Yogyakarta.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.       Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii)
2.1.1. Klasifikasi
Menurut Ali (2009) Udang Galah termasuk kedalam:
Kingdom                     : Animalia
Filum                           : Arthropoda
Subfilum                     : Crustacea
Kelas                           : Melacostraca
Subkelas                      : Eumalacostraca
Superordo                   : Eucarida
Ordo                                        : Decapoda
Superfamili                  : Palaemonoidea
Family                         : Palaemonidae
Genus                          : Macrobrachium
Spesies                        : Macrobrachium rosenbergii




Gambar 1. Udang Galah



2.1.2. Morfologi
          Badan udang galah terdiri atas 3 bagian, yaitu kepala dan dada (cephalothorax), badan yang bersegmen-segmen (abdomen), serta ekor (uropoda). Cephalothorax dibungkus oleh kulit keras. Dibagian depan kepala terdapat suatu lempengan karapas yang bergerigi, disebut rostrum. Pada rostrum bagian atas, terdapat duri 11-13 buah dan dibagian bawah rostrum 8-14 buah. Pada bagian cephalothorax juga terdapat lima pasang kaki jalan. Pada udang jantan sepasang kaki jalan kedua tumbuh panjang dan cukup besar menyerupai galah. Panjangnya dapat mencapai 1,5 kali panjang badannya. Pada udang betina kaki tersebut relatif kecil. Kaki renang udang galah terdapat dibagian bawah abdomen, jumlahnya lima pasang. Selain untuk berenang, kaki renang pada udang betina juga berfungsi sebagai tempat menempelkan telur-telur (Ali, 2009).
Bagian abdomen terdiri dari lima ruas, tiap ruas dilengkapi sepasang kaki renang (pleiopoda). Pada betina bagian ini agak melebar, membentuk semacam ruangan untuk mengerami telurnya (broadchamber). Bagian uropoda merupakan ruas terakhir dari ruas badan, yang kaki renangnya berfungsi sebagai pengayuh atau yang biasa disebut sebagai ekor kipas.





Gambar 2. Morfologi Udang Galah
(Sumber : New MB 2002)
Berikut perbedaan udang galah jantan dan betina menurut Perdana (2011) yang tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan udang galah jantan dan betina
Hal
Udang Jantan
Udang Betina
Ukuran tubuh
Relatif lebih besar
Tubuh lebih kecil
Kaki
Pasangan kaki jalan yang kedua relatif lebih besar dan panjang (bahkan dapat mencapai 1,5 kali panjang total tubuhnya), selain itu pasangan kaki jalan terlihat lebih rapat dan lunak
Pasangan kaki jalan kedua tetap tumbuh lebih besar, tetapi tidak sebesar dan sepanjang udang jantan
Perut
Bagian perut lebih ramping
Bagian perut lebih besar
Pleuron
Ukuran pleuron lebih pendek
Pleuron memanjang
Letak alat kelamin
Alat kelamin terdapat pada basis pasangan kaki jalan kelima
Alat kelamin terdapat pada pangkal kaki ketiga, merupakan suatu lubang yang disebut thelicum
         
Adapun alat reproduksi udang galah jantan terdiri dari organ internal yaitu sepasang vas deferen dan sepasang terminal ampula, dan organ eksternal yaitu petasma yang terletak pada kaki jalan yang ke 5 dan sepasang appendik maskulina yang terletak pada kaki renang ke 2 yang merupakan cabang ke 3 dari kaki renang. Fungsi alat kelamin eksternal udang galah jantan adalah untuk menyalurkan sperma dan meletakan spermatophora pada alat kelamin betina (thelikum), sehingga telur yang akan keluar dari saluran telur (oviduc) ke tempat pengeraman akan dibuahi oleh sperma dari thelikum. Petasma ini merupakan modifikasi dari bagian endopodit pasangan kaki renang pertama. Udang galah betina alat reproduksinya terdiri dari organ internal yaitu sepasang ovarium dan sepasang saluran telur, dan organ eksternal yaitu thelikum yang terletak di antara kaki jalan ke 3. Pada bagian dalam thelikum terdapat spermatheca yang berfungsi untuk menyimpan spermatophora setelah terjadi kopulasi (Perdana, 2011).
2.1.3. Habitat dan Kebiasaan Makan
           Di dunia, populasi udang galah tersebar di berbagai benua, mulai dari tanah Melayu, daratan Cina, Thailand, India, Jepang (Asia), sampai ke Ekuador dan Amerika. Walaupun tersebar dengan berbagai spesies, udang galah masih dalam satu genus, yaitu Macrobrachium. Udang galah biasanya hidup disungai-sungai besar yang dekat dengan muara atau tinggal di lubuk-lubuk yang dalam dan beruaya (berpindah secara berkelompok) di sepanjang badan sungai antara muara dan hulu sungai yang masih bisa dijelajahinya. Udang galah termasuk makhluk yang toleran terhadap lingkungannya. Binatang ini mampu hidup dalam kisaran kadar salinitas yang luas. Dari kecil sampai dewasa, udang galah harus menjalani kehidupannya di air dengan tingkat keasinan antara 0-12 ppt, adakalanya bahkan lebih (Ali, 2009).
Udang galah hidup pada dua habitat, pada stadium larva hidup di air payau dan kembali ke air tawar pada stadium juvenil hingga dewasa. Di dunia, udang galah kebanyakan tersebar di daerah tropis dan subtropis yang termasuk bagian indopasifik. Sebagian besar habitat udang galah yaitu di sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut, danau, waduk dan kolam. Di Indonesia, udang galah banyak terdapat di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Irian Jaya. Udang ini hidup di danau, saluran-saluran air dan perairan lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung mempunyai hubungan dengan sungai bahkan udang ini juga ditemukan di sunga-sungai hingga sejauh 200 km dari muara Udang galah bersifat omnivora, cenderung aktif pada malam hari (nocturnal) (Perdana, 2011).

2.2.       Perkembangan Larva Udang Galah
Udang galah yang sering disebut “giant freshwater prawn” dalam siklus hidupnya secara alami memerlukan lingkungan perairan tawar dan payau (Wuwungan, 2009). Di alam, induk udang galah dapat memijah di perairan tawar, lalu larvanya terbawa alioran sungai hingga ke laut. Larva yang baru menetas memerlukan air payau sebagai tempat hidupnya. Apabila larva tidak berada di lingkungan air payau selama 3-5 hari semenjak menetas, maka larva tersebut akan mati. Apabila larva yang baru menetas itu menemukan lingkungan hidup yang cocok maka larva akan dapat tumbuh menjadi juvenil. Untuk mencapai tingkatan juvenil, larva tersebut harus melalui 11 tahap perkembangan larva. Pada setiap tahap terjadi pergantian kulit yang diikuti dengan perubahan struktur morfologinya. Sampai tahap juvenil dicapai, udang galah mulai memerlukan lingkungan air tawar sampai udang tersebut dewasa (New, 2002).
Daur hidup udang galah dimulai dari telur-telur yang sudah dibuahi dan dierami oleh induknya selama 19 - 21 hari dan menetas menjadi larva (Ling 1969). Larva yang baru menetas ini memerlukan air payau sebagai tempat hidup. Apabila larva tidak berada di lingkungan air payau selama 3 - 5 hari semenjak menetas, maka larva tersebut akan mati (Mulyo 1987). Larva akan tumbuh menjadi postlarva (benih) apabila larva yang baru menetas itu menemukan lingkungan hidup yang cocok, maka untuk mencapai tingkatan postlarva, larva tersebut harus memenuhi 11 tahap perkembangan larva dan berlangsung selama 30 - 35 hari dan pada setiap tahap terjadi pergantian kulit (moulting) dengan perubahan struktur morfologinya (metamorfosa) (Roslani 2007). Frekuensi pergantian kulit pada udang galah berbeda-beda tergantung pada umur, jumlah dan kualitas pakan serta lingkungan hidupnya. Udang galah muda pertumbuhannya lebih pesat, sehingga proses pergantian kulitnya juga lebih cepat dibanding udang dewasa. Udang yang molting kondisi tubuhnya lemah sehingga menjadi mangsa udang lainnya yang tidak sedang molting (Suhendra dan Paryono 2004).
Berikut adalah gambar perkembangan larva udang galah stadia  I – Post Larva:

Gambar 1. Perkembangan larva udang galah
(Sumber : Foster y Wickins, 1972)
2.3.Pemeliharaan Larva Udang Galah
Larva adalah fase kehidupan setelah telur. kondisi tubuhnya masih lemah, bahkan bisa dikatakan sebagai masa kritis. Meski kondisi tubuhnya lemah, bukan berarti larva ini tidak mampu bertahan hidup. Pemeliharaan sebaiknya dilakukan pada bak pemeliharaan larva. Persiapan bak pemeliharaan larva sama dengan persiapan sarana dan prasarana pembenihan lainnya. Bak pemeliharaan larva dapat berupa fiberglass atau bak beton. Jika bak sudah ada, segera isi dengan air (yang telah didisinfeksi) bersalinitas 12 ppt, lalu diberi daun ketapang 100-200 gram/m3. Satu hal yang harus diperhatikan adalah kepadatan. Jangan sampai kepadatannya terlalu tinggi atau terlalu rendah. Kepadatan didasarkan pada volume satu liter Sarifin et al., (2014).   

2.4.Pakan dan Cara Makan pada Udang Galah
Pakan dan pemberian pakan merupakan salah satu faktor penting dalam budidaya perairan/perikanan. Ikan atau biota budidaya lainnya membutuhkan pakan untuk hidup, tumbuh dan berbagai aktivitasnya, seperti berenang, memelihara jaringan tubuh, kekebalan, berkembang biak, dan lain-lain. Pakan untuk ikan budidaya harus berkualitas (kebutuhan gizi ikan terpenuhi), tersedia dalam jumlah yang cukup dan tepat waktu serta terus menerus (kontinu). Karena itu pembudidaya ikan perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang faktor-faktor yang terkait dengan penyediaan dan pemberian pakan (Kordi, 2007).
Pemilihan pakan yang tidak tepat baik jumlah maupun kualitasnya akan mengakibatkan pertumbuhan terhambat, selain itu kesehatan dan proses reproduksinya juga terganggu. Oleh karena itu perlu diketahui jenis dan jumlah pakan yang akan digunakan. Pemberian pakan dalam jumlah dan frekuensinya perlu diperhatikan, mengingat pemberian pakan yang berlebihan dan tidak tepat waktunya akan mengakibatkan penurunan kualitas air, peningkatan BOD, dan kesehatan ikan terganggu (Rejeki, 2001).
Minimal ada empat hal yang harus mendapatkan perhatian dalam pemberian pakan udang galah yaitu tepat mutu, tepat jumlah, tepat ukuran dan tepat frekuensi pemberian pakan. Tepat mutu memiliki makna terkait dengan unsur gizi yang terkandung di dalam pakan. Pakan yang diberikan pada udang galah harus memenuhi kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh udang galah untuk hidup pokok, reproduksi, dan pertumbuhan. Tepat jumlah menuntut pemakaian pakan yang sesuai dengan kebutuhan udang galah yang dipelihara. Hal ini terkait dengan seberapa banyak pakan alami yang tersedia di dalam kolam seperti plankton, bentos, dan hewan-hewan renik lainnya yang mampu dikonsumsi udang. Tepat ukuran pakan adalah pemberian pakan dengan ukuran yang disesuaikan dengan ukuran dan umur udang galah yang dipelihara. Udang kecil lebih cenderung memilih pakan yang berukuran kecil pula. Bila yang diberikan hanya pakan dengan ukuran besar, tentu udang galah kecil memerlukan usaha keras dan mengeluarkan energi ekstra untuk menggerus dan membawa-bawa pakan tersebut. Sebaliknya secara alamiah, udang yang besar cenderung mengambil pakan yang juga berukuran besar. Bila yang diberikan pakan kecil, waktu yang diperlukan udang galah untuk mengais pakan akan lebih lama. Selain itu juga pakan akan hancur bila terlalu lama di air, akhirnya pakan tersebut tidak dikonsumsi oleh udang. Tepat frekuensi pemberian pakan adalah tingkat keseringan memberi pakan udang galah dalam sehari. Pada saat berumur 10 – 25 hari, larva diberikan pakan buatan dengan dosis 2 – 4 gram/ekor dengan frekuensi pemberian 2 kali sehari, dan mulai ditingkatkan menjadi 4 – 6 gram /ekor pada saat larva telah berumur 25 – 40 hari. Pakan diberikan secara ad satiation sebanyak 5 kali sehari yaitu pada jam 08.00, 10.00, 12.00, 14.00 dan 16.00. Pemberian pakan buatan dilakukan dengan cara mematikan aerasi dan menyebarkan secara sedikit demi sedikit pada air hingga merata. Tujuan pemberian pakan secara sedikit demi sedikit dimaksudkan agar pakan tidak segera tenggelam dan dapat dipegang oleh larva. Pakan yang tenggelam biasanya tidak dimakan oleh larva dan mengendap di dasar menjadi kotoran. Pemberian pakan dihentikan jika larva dalam bak pemeliharaan secara sekilas telah memegang pakan buatan sendiri tanpa ada yang saling berebut dan aerasi dihidupkan kembali (Ali, 2009).

2.5.Kualitas Air
Suhu memegang peranan penting untuk pertumbuhan organisme budidaya. Pada organisme berdarah panas, energi diperlukan untuk menjaga suhu tubuhnya. Sedangkan organisme budidaya yang merupakan organisme berdarah dingin, tidak memerlukan energi untuk mempertahankan suhu tubuhnya. Dalam hal ini, organisme budidaya lebih efisien dalam mengkonversikan pakannya dibandingkan dengan organisme berdarah panas. Namun demikian, karena organisme budidaya merupakan organisme berdarah dingin, makan pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh suhu tubuhnya, sehingga organisme budidaya dari daerah sub-tropis yang lebih rendah pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan organisme budidaya di daerah tropis. Suhu media yang diperlukan oleh organisme budidaya sangat bervariasi tergantung pada spesies dan suhu air disekitarnya pada saat masa aklimatisasi (Rejeki, 2001).
Suhu yang optimal untuk pemeliharaan larva udang galah berkisar antara 28 – 31oC (New et. al. (2004). Bila suhu air di siang hari melebihi 31oC dan malam hari suhu sampai di bawah 25oC udang galah akan terpapar pada kondisi yang tidak nyaman. Udang galah dapat tumbuh dan hidup pada kisaran suhu optimum 25-31oC, tetapi akan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 28-30oC. tingginya fluktuasi suhu berakibat pada pengurasan energi yang sia-sia dari tubuh udang galah untuk bertahan hidup. Tidak saja pertumbuhannya yang lambat, kondisi ini juga akan membuat udang stress, kurang nafsu makan, sakit, dan akhirnya mati. Udang galah secara alami mampu mentolerir kandungan kadar garam di air sampai 10 ppt, kira-kira sepertiga asinnya air laut. Namun pertumbuhan udang galah di air tawar tetap lebih cepat di banding dengan di air berkadar garam. Dalam praktik dibanyak negara, air bersalinitas sampai 3-4 ppt masih direkomendasikan. Hal ini berkaitan dengan kandungan kesadahan CaCO3 di air. Namun demikian, kesadahan yang berlebihan dapat memperlambat pertumbuhan udang galah. Nilai kesadahan air yang disarankan tidak lebih dari 150 mg/l CaCO3 (Ali, 2009).
Salinitas dapat didefinisikan sebagai total konsentrasi ion-ion terlarut dalam air. Dalam budidaya perairan, salinitas dinyatakan dalam permil (‰) atau ppt (part perthousand) atau g/l. Salinitas berpengaruh terhadap reproduksi, distribusi, osmoregulasi. Salinitas menggambarkan padatan total di air setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan dengan klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi (Agus, 2003). Salinitas merupakan salah satu parameter penting bagi organisme estuarine dan berperan dalam mekanisme fisiologi. Secara alami, udang galah termasuk binatang yang beruaya ke perairan payau untuk memijah dan menetaskan telur. Setelah telur menetas, larva akan mengalami metamorfosis hingga mencapai stadia post larva dan akan kembali beruaya ke air tawar hingga dewasa. Pada  perkembangan  larva,  udang  galah  membutuhkan  air  payau  salinitas  8  —  22 permil,  sedangkan  dan tingkat  pasca  lava  sampai  bertelur  hidup  dalam air  tawar  maupun payau  (Ling  1967). Sedangkan Himawan dan Ikhsan (2010) menyatakan kisaran salinitas air yang ideal untuk pemeliharaan udang galah adalah 10‰ - 15‰.
Kandungan DO yang baik untuk pemeliharaan larva udang galah yaitu > 5 ppm dan pH yang optmal untuk pemeliharaan larva udang galah yaitu berkisar antara7 - 8,5 (New et. al., 2004).  Sedangkan menurut Murtiarti (2007) kandungan DO yang baik minimum 4 ppm (diukur dengan DO meter). Apabila kandungan DO rendah, udang akan berenang ke permukaan air atau pinggir tambak. Apabila diganggu atau terkena bayangan orang, udang tersebut tidak segera masuk ke permukaan yang lebih dalam. Untuk menghindari hal tersebut makan sebaiknya di dalam kolam atau tambak menggunakan blower atau kincir air dalam jumlah yang cukup, tambahkan air segera, jaga warna dan kualitas air tetap stabil, dan ubahlah jumlah makanan yang diberikan agar tidak terkumpul didasar. pH air yang baik sekitar 7,5-8,5 yang diukur secara tetap. Apabila pH rendah perlu ditambahkan kapur, dan pH tinggi perlu penambahan air bersih baru. Tingkat kehilangan pakan (pakan tidak terkonsumsi) yang tinggi menyebabkan kualitas air mengalami penurunan yang cepat, yang ditandai dengan kadar amonia dan nitrit yang tinggi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka pergantian air merupakan hal yang harus dilakukan secara rutin, khususnya pada budidaya udang galah skala semi intensif dan intensif. Batas kadar amonia yang aman bagi udang galah adalah dibawah 0,1 mg/l. Kadar amonia yang mencapai 0,6 mg/l dapat mematikan udang dalam waktu singkat (Perdana, 2011). Konsentrasi nitrit maximum yang diperbolehkan dalam kegiatan budidaya ikan adalah < 0,06 mg/l, sedangkan untuk konsentrasi nitrat maksimum yaitu 0,03-4,2 mg/l.  

IV.  HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.      Hasil
4.1.1.   Persiapan Wadah Pemeliharaan Larva
            Wadah pemeliharaan larva yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapangan yaitu berupa bak beton berukuran 2,5 x 1,5 x 1,2 m yang berjumlah 5 buah yaitu bak B1, B2, B3, B4, dan B5. Persiapan wadah pemeliharaan dimulai dengan Sebelum digunakan bak terlebih dahulu direndam dengan menggunakan air tawar yang telah diberi kaporit dengan dosis 15 ppm selama kurang lebih 24 jam dan diaerasi kuat. Setelah 4 jam bak dicuci dan digosok dengan menggunakan detergen hingga bau dan sisa kaporit hilang. Kemudian dicuci bersih hingga bau dan sisa detergen hilang. Setelah itu dikeringkan selama kurang lebih 1 – 2 hari. Kemudian bak pemeliharaan larva udang galah (Macrobrachium rosenbergii) diisi air payau dengan salinitas 10 - 12 ppt hingga air mencapai 75 cm. Bak yang sudah disiapkan didiamkan sau malam kemudian diisi dengan larva udang galah dengan kepadatan 15 ekor/liter. Jumlah larva udang galah yang ditebar pada keseluruhan bak sebanyak 150.000 ekor.






4.1.2.   Manajemen Pemberian Pakan
            Berdasarkan hasil Praktek Kerja Lapangan diketahui bahwa pakan yang diberikan pada larva adalah pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami yang digunakan yaitu berupa artemia. Artemia diberikan sebanyak satu liter dengan kepadatan 24 individu/ml. Sedangkan untuk pakan buatan yang digunakan yaitu egg custard. Egg custard diberikan pada larva sampai larva kenyang. Feeding regime yang diterapkan di UKBAP Samas adalah sebagai berikut.


N1   -    M -  M2  -  M3  -   Z1  -    Z2  -  Z3  -   Pl1  -   Pl2  -   Pl3  -  -  -  -    - Pl10

---------------------------------------------------
                                              --------------------------------------------------------------

Keterangan :
            -------------       : Artemia
            -------------       : Egg custard

Artemia diberikan tiga kali sehari yaitu pada pukul 08.00, 12.00 dan 16.00. Sebelum diberikan, artemia harus di dekapsulasi terlebih dahulu. Egg custard adalah pakan buatan yang diberikan pada larva udang galah. Egg custard diberikan lima kali sehari yaitu pada pukul 08.00, 10.00, 12.00, 14.00 dan 16.00.  Egg custard diberikan pada larva secara at satiation.


            Egg custard yang digunakan yaitu egg custard yang terbuat dari telur bebek. Cara pembuatan egg custard dapat dilihat pada lampiran 2. Berikut bahan untuk membuat egg custard yang tersaji pada tabel 4.
Tabel 4. Bahan untuk membuat egg custard
No
Bahan
Jumlah
1.
Telur Bebek (putih+kuning)
30 butir
2.
Susu
500 gr
3.
Tepung
250 gr
4.
Air
1 liter
Sumber: Standar Operasional Prosedur Budidaya Udang Galah di UKBAP Samas
4.1.3. Data Kelulushidupan (SR)
Hasil Survival Rate (SR) pada praktek kerja lapangan mengenai manajemen pemeliharan larva udang galah tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Survival Rate (SR)
Bak
Larva
(Tebar)
Post Larva
SR (%)
B1
B2
B3
B4
B5
30.000
30.000
30.000
30.000
30.000
15.900
15.600
15.600
15.900
16.200
53
52
52
53
54
Sumber: Hasil Praktek Kerja Lapangan
4.1.4. Pengelolaan Kualitas Air
Pengelolaan kualitas air dengan cara membersihkan bak melalui penyifonan yang dilakukan setiap satu minggu sekali. Kemudian melakukan pergantian air setiap satu minggu sekali sebanyak 50 - 75% dari volume semula, membuang larva yang mati dan memonitoring kualitas air. Pengukuran kualitas air dilakukan seminggu sekali menggunakan Water Quality Checker (WQC). Untuk menjaga kualitas air tetap baik maka dilakukan penyifonan satu minggu sekali.  Berikut hasil pengukuran kualitas air tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil pengukuran kualitas air
Bak
Suhu
(oC)
pH
DO
(mg/l)
B1
28-31,5
7,99-8,23
3,9-4,2
B2
28,6-32
7,53-8,07
4,1-4,2
B3
29-32,5
7,58-8,19
3,7-4,4
B4
30-31,5
7,34-8,22
3,9-4,4
B5
30-32
7,34-8,19
4-4,6
 Sumber: Hasil Praktek Kerja Lapangan
4.2.    Pembahasan
4.2.1. Persiapan Media Pemeliharaan Larva
Berdasarkan hasil yang diuraikan diatas diketahui bahwa bak pemeliharaaan berbentuk persegi panjang, terletak didalam hatchery, berbahan semen dan batu bata berjumlah 5 buah dengan ukuran yang berbeda-beda. Pada sudut bak dibuat melingkar atau tanpa sudut dengan tujuan memperluas gerak larva dan menghindari adanya death corner. Sebelum digunakan bak terlebih dahulu direndam dengan menggunakan air tawar yang telah diberi kaporit dengan dosis 15 ppm selama kurang lebih 24 jam dan diaerasi kuat. Tujuan dari perendaman kaporit yaitu untuk membunuh patogen yang dimungkinkan terdapat pada bak. Setelah 4 jam bak dicuci dan digosok dengan menggunakan detergen hingga bau dan sisa kaporit hilang. Kemudian dicuci bersih hingga bau dan sisa detergen hilang karena bau dan sisa detergen dapat berdampak pada menurunnya kualitas air dan bersifat toksin atau beracun. Setelah itu dikeringkan selama kurang lebih 1 – 2 hari untuk mematikan bakteri atau patogen lainya yang dimungkinkan masi tertinggal di dalam bak pemeliharaan. Setelah pengeringan, bak pemeliharaan larva udang galah (Macrobrachium rosenbergii) diisi air payau dengan salinitas 10 - 12 ppt hingga air mencapai 75 cm. Hal ini sesuai dengan pendapat Ali (2009) bahwa udang galah stadia post larva dan udang galah dewasa merupakan hewan perairan tawar murni, tetapi pada stadia larva hidup di air payau. Pengisian air menggunakan pipa PVC yang disaring dengan filter bag. Penggunaan filter bag ini bertujuan untuk menyaring air agar kotoran tidak masuk ke wadah pemeliharaan. Sebelum larva ditebar, air diaerasi terlebih dahulu sebanyak 12 titik selama 24 jam. Aerasi dilakukan untuk menyuplai oksigen sehingga kebutuhan oksigen tercukupi. Menurut Abuzar et al. (2012) bahwa Aerasi merupakan istilah lain dari tranfer gas, lebih dikhususkan pada transfer gas oksigen atau proses penambahan oksigen ke dalam air.
Larva yang ditebar di dalam bak dengan volume air 2000 liter yaitu sebanyak 30.000 ekor atau dengan padat tebar 15 ekor/l, padat tebar tersebut dinilai kurang maksimal karena menurut Hadie dan Hadie (1993), padat penebaran larva yang paling baik berkisar antara 100-150 ekor/l. Padat tebar hanya 15 ekor/l karena penebaran larva bergantung pada jumlah larva yang dihasilkan oleh induk. Padat tebar yang berlebihan juga kurang kurang baik karena selain mengurangi ruang gerak, juga akan berpengaruh pada kebutuhan oksigen. Pada padat tebar tinggi, akan terjadi persaingan dalam komsumsi oksigen sehingga akan berpengaruh pada kelulushidupan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Salmin (2012) bahwa Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untukpernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut.
Saat dilakukan praktek kerja lapangan, telur yang menetas dari hasil pemijahan induk udang galah kurang lebih sebanyak 150.000 ekor. Sehingga karena terdapat 5 bak yang telah disiapkan, maka masing-masing bak ditebar sebanyak 30.000 ekor atau dengan padat tebar 15 ekor/l. Setelah telur yang menetas dipanen, jumlahnya dihitung, kemudian dilakukan penebaran larva ke dalam bak pemeliharaan larva. Proses perhitungan larva dilakukan dengan cara larva yang telah ditampung dalam baskom airnya diputar pelan agar larva tidak berkumpul pada satu titik. Kemudian diambil sampel larva sebanyak 10 ml dengan menggunakan makropipet yang kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur. Perhitungan sampel dilakukan secara manual kemudian hasilnya dikalikan dengan volume air yang ada pada baskom. Perhitungan larva pada bak pemeliharaan harus dilakukan secepatnya supaya larva lainnya tidak stres. Larva yang stres ditandai dengan terapungnya larva dipermukaan air. Proses perhitungan yang lama sangat dihindari karena larva yang stres rawan akan kematian. Penebaran larva dilakukan dengan cara menuangkan larva yang telah ditampung dalam baskom ke dalam bak pemeliharaan secara perlahan-lahan dan hati-hati untuk mencegah supaya larva tidak stres.
4.2.2. Manajemen Pemberian Pakan
          Hasil dari Praktek Kerja lapangan diketahui bahwa pemberian pakan tidak langsung dilakukan pada saat larva ditebar, melainkan satu hari setelah penebaran. Pakan yang diberikan pertama kali pada larva udang galah berupa pakan alami, setelah larva berumur 8 – 10 hari diberi pakan tambahan berupa pakan buatan. Pakan alami yang diberikan yaitu artemia, sedangkan untuk pakan buatan yaitu egg custard.
          Artemia diberikan ketika larva berumur satu hari, hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya kanibalisme. Artemia diberikan ketka larva berumur satu hari sebanyak 24 ind/ml. Menurut Sarifin (2014), setelah kuning telur habis, baru larva mulai makan. Ketika kuning telur habis, larva diberi pakan tambahan karena sifat kanibalismenya akan muncul dan larva-larva itu bisa memakan temannya sendiri. Sebelum diberikan pada larva udang galah, kista artemia dikultur terlebih dahulu, dengan tujuan agar kista yang tidak termakan tersebut tidak mengotori permukaan bak. Sebelum dikultur, dilakukan dekapsulasi terlebih dahulu dengan tujuan dekapsulasi yaitu untuk mempercepat penetasan kista, dan sterilisasi agar tidak patogen. Hal ini sesuai dengan pendapat Kordi (2007), bahwa perlakuan dekapsulasi dimaksudkan untuk menipiskan kulit kista artemia, sehingga proses penetasannya lebih cepat.
Dalam proses dekapsulasi menggunakan kaporit sebagai bahan untuk dekapsulasi. Tujuan penggunaan kaporit adalah agar kista tidak patogen. Dekapsulasi dimulai dengan merendam kiste di air tawar dengan tujuan untuk menghidrasi kista, hal ini sesuai dengan pendapat Hadie dan Hadie (2002), sebelum dimasukan kedalam media, telur terlebih dahulu direndam di air tawar (± 1 jam) agar terhidrasi air tawar kedalam kulit telur. Dalam keadaan demikian, telur mempuanyai berat jenis yang lebih rendah daripada air laut sehingga setelah telur menetas, kista akan mengapung.
Pemberian pakan berupa artemia dilakukan tiga kali sehari pada pukul 08.00, 12.00 dan 16.00 dengan dosis terbanyak yaitu pada pukul 16.00, hal ini dikarenakan udang bersifat nocturnal sehingga persediaan pakan untuk malam hari diperlukan lebih banyak dari pagi hari. Pada saat pemberian pakan artemia, aerasi harus dimatikan terlebih dahulu. Egg custard merupakan pakan buatan yang diberikan ketika larva berumur tujuh hari. Egg custard diberikan setiap dua jam sekali yaitu pada pukul 08.00, 10.00, 12.00, 14.00, dan 16.00. Egg custard yang diberikan pada pemeliharaan larva udang galah yaitu egg custard yang menggunakan telur bebek sebagai sumber proteinnya, hal ini dikarenakan telur bebek memiliki sumber protein yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hadie dan Hadie (2002), pakan buatan berfungsi sebagai pakan pelengkap maka komposisi bahan yang digunakan dan kandungan nutrisinya cukup bervariasi, terutama kadar protein harus cukup tinggi (54,9%).
Selain itu juga komposisi egg custard menggunakan susu berkalsium tinggi. Pemberian pakan dengan artemia dan egg custard diketahui berdampak baik untuk larva udang galah bila dibandingkan dengan hanya pemberian artemia atau pemberian egg custard saja. Hal ini sesuai dengan pendapat Shailender (2012), bahwa pemberian pakan menggunakan artemia dan ditambah egg custard dapat berpengaruh pada meningkatnya kelulushidupan larva udang galah dibandingkan dengan pemberian pakan menggunakan artemia atau egg custard saja.
4.2.3. Kelulushidupan (SR)
Berdasarkan hasil praktek kerja lapangan, diketahui bahwa rata-rata tingkat kelulushidupan (SR) pada larva udang galah yang dibudidayakan di Unit Kerja Budidaya Air Payau (UKBAP) Samas rata-rata sebesar 53 %. Hasil tersebut didapatkan dari awal penebaran larva pada kelima bak adalah sebanyak 150.000 ekor dan saat panen diketahui jumlah postlarva adalah sebanyak 80.000 ekor. Hasil kelulushidupan tersebut membuktikan bahwa udang galah memiliki tingkat kelangsungan hidup yang masih rendah karena kurangnya kemampuan larva udang galah untuk bertahan hidup.. Sesuai dengan pendapat Effendi (1997), kelangsungan hidup dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk mengetahui toleransi dan kemampuan organisme budidaya untuk hidup.
Tingkat kelangsungan hidup pada larva udang galah dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi yaitu kebutuhan akan nutrisi. Seperti yang telah diketahui bahwa udang bersifat kanibalisme, sifat kanibalisme ini dapat dicegah dengan memberikan makanan yang cukup. Ini sesuai dengan pendapat Khairuman dan Amri (2003) bahwa kandungan nutrisi pakan udang yang baik tidak hanya mampu mempercepat pertumbuhan udang galah, tetapi juga memberikan daya tahan yang baik bagi udang, di samping menambah kepadatan dan kekenyalan tubuhnya. Faktor lain yang mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup larva yaitu kualitas air. Berdasarkan hasil yang didapat, pada parameter suhu menunjukkan fluktuasi yang cukup tiggi yaitu sebesar 4oC. Hal tersebut akan menyebabkan stress pada larva sehingga menyebabkan rendahnya tingkat kelangsungan hidup larva. Selain itu juga kadar DO yang dinilai masih dibatas rata-rata. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Hadie dan Hadie (2002) yang menyatakan perbedaan suhu 2oC dapat berakibat buruk terhadap larva udang.


4.2.4. Pengelolaan Kualitas Air
Pengelolaan kualitas air pada pemeliharaan larva di UKBAP Samas menggunakan sistem clear water,  yaitu air pada media pemeliharaan diusahakan bersih tanpa penambahan plankton atau pakan alami selain artemia. Oleh karenanya untuk menjaga ai tetap bersih dilakukan penyifonan dan pergantian air. Penggantian air dilakukan sebanyak 75% dari volume total media, atau tergantung pada kekeruhan air. Penyifonan dilakukan bila lumut pada dasar dan dinding bak, serta kotoran dan sisa pakan telah menumpuk. Pergantian air menggunakan selang spiral satu buah pada satu bak, berdiameter 2 inci yang diberi paralon dan penyaring agar larva tidak terbuang. Penyifonan dilakukan menggunakan selang berdiameter 0,5 inci yang ujungnya diberi paralon berbentuk “T” yang diberi lubang dan spon kasar dan pegangan paralon untuk memudahkan penyifonan.
Pengukuran kualitas air dilakukan menggunakan Water Quality Checker. Pengukuran kualitas air hanya dilakukan pada beberapa parameter saja karena keterbatasan alat yang tersedia. Suhu yang di dapatkan pada pengamatan kualitas air yaitu berkisar antara 28-32,5o C. Hasil tersebut hampir sama dengan pendapat Hadie dan Hadie (2002) bahwa suhu optimum pemeliharaan larva udang galah adalah 29-31oC. Suhu sempat dibawh optimum yaitu 28oC karena saat kegiatan sedang musim hujan sehingga mempengaruhi suhu dari media pemeliharaaan larva. Tetapi menurut Syafei (2006) nilai parameter suhu 28o C merupakan nilai terbaik dalam pemeliharaan larva udang galah. pH yang didapatkan pada pengamatan kualitas air yaitu berkisar antara 7,34-8,23 sedangkan menurut Khairuman dan Amri (2003) pH optimal untuk produksi larva udang galah yaitu 6,5-8,5. DO yang didapatkan pada pengamatan kualitas air yaitu berkisar antara 3,7-4,6. Kadar DO tersebut termasuk aman, karena menurut New (2002) kandungan oksigen terlarut yang optimal untuk udang galah berkisar 3-8 mg/liter, dan menimbulkan stres jika di bawah 2 mg/liter, sedangkan menurut Khairuman dan Amri (2003) kadar DO untuk produksi larva udang galah yaitu >5 mg/l.
Amonia dan nitrit yang didapatkan pada pengamatan kualitas air tidak terdeteksi (ttd). Sedangkan menurut pernyataan Ali (2009) bahwa kadar yang disarankan untuk amonia yaitu <0,3 dan kadar yang disarankan untuk nitrit yaitu >2,0.
4.2.5. Kultur Pakan Alami
Berdasarkan praktek yang telah dilakukan, dapat diketahui kultur pakan alami yang dilakukan di UKBAP Samas yaitu meliputi persiapan wadah, dekapsulasi artemia.Wadah yang digunakan untuk kultur pakan alami adalah konikel tank yang terbuat dari fiberglass berbentuk kerucut, dengan volume air 50 liter. Sebelum digunakan wadah terlebih dahulu dibersihkan dengan cara digosok dengan menggunakan spon, kemudian dibilas dengan menggunakan air tawar. Setelah bersih adah diisi dengan air laut bersalinitas 29 ppt.
Proses dekapsulasi dilakukan dengan cara merendam kista artemia sebanyak 425 gram (1 kaleng) dengan air tawar 2 liter selama 60 menit, kemudian direndam dengan larutan kaporit sebanyak 300 gram menggunakan saringan, kista direndam dan diaduk hingga warna kista menjadi krem, lalu dibilas hingga bersih. Perlakuan tersebut diulang hingga warna kista menjadi orange, lalu dibilas hingga bau kaporit hilang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hadie dan Hadie (2002), sebelum masuk ke dalam media, telur terlebih dahulu di rendam dalam air tawar agar terhidrasi air tawar ke dalam kulit telur. Kultur artemia dilakukan dalam wadah konikel tank berbentuk kerucut agar mudah dalam pemanenan dan penyebaran aerasi. Artemia yang sudah didekapsulasi kemudian dimasukkan secara merata dalam konikel yang sudah disiapkan. Salinitas yang digunakan adalah 29 – 30 ppt. Pemanenan artemia diawali dengan pengangkatan aerasi dari bak penetasan kemudian didiamkan selama 10 – 15 menit agar cangkang artemia mengendap. Setelah itu, selang dengan diameter 2 cm sebanyak 2 buah dimasukkan ke dalam bak penetasan.
Artemia ditampung menggunakan scopnet dengan ukuran mata jaring 150 mikron. Setelah dipanen, dilakukan pencucian artemia menggunakan air tawar. Artemia yang telah bersih di masukkan ke dalam ember dan diisi dengan air laut untuk diberikan pada larva.


V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.    Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktek kerja lapangan mengenai manajemen pemeliharaan larva udang galah di Unit Kerja Budidaya Air Payau (UKBAP) Samas yaitu persiapan wadah berupa bak pemeliharaan, pengaturan padat tebar yaitu sebanyak 15 ekor/l, pemberian pakan yaitu berupa paakan alami berupa artemia dan pakan buatan berupa egg custard serta pengelolaan kualitas air dengan melakukan penyifonan setiap satu minggu sekali.

5.2.    Saran
Saran yang dapat diberikan dalam proses manajemen pemeliharaan larva udang galah di Unit Kerja Budidaya Air Payau adalah diperlukannya pemantauan baik kualitas air, manajemen pakan, dan faktor pendukung lainnya agar tingkat kelulushidupan semakin meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, B. 2003. Budidaya Udang Galah Sistem Monokultur. Kansius. Yogyakarta.

Ali, Fauzan. 2009. Mendongkrak Produktivitas Udang Galah Hingga 250 %.  Penebar Swadaya. Depok.

Effendi, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Bogor.
Forster, J. R. M., Wickins, J. F. 1972. Prawn culture in United Kingdon its status and potential. Lab. Leaf. Fish. Lab. Lowestoft, New series, pages 27- 32.
Hadie, L.E dan W. Hadie. 2002. Budidaya Udang Galah GI Macro. Penebar Swadaya, Jakarta.

Hamzah, M. 2004. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan juvenil udang gala (Macrobrachium rosenbergii de Man) pada berbagai tingkat salinitas media. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Himawan, Yogi dan Ikhsan, Khasani. 2010.  Pengaruh Salinitas Terhadap Lama Waktu Inkubasi dan Daya Tetas Telur Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii). Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar. Subang

Jayalakshmy, B. & Natarajan, P. 1996. Influence of salinity on fertilization and hatching of Macrobrachium idella under laboratory condition. J. Aqua. Trop.,11 : 33-38.

Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2010. Peningkatan Produktifitas Budidaya Udang Galah Melalui Pendekatan Genetis, Lingkungan dan Pakan. Laporan Akhir Kegiatan Peneitian.

Khairuman, dan Amri, Khairul. 2003. Budidaya Udang Galah. Agro Media Pustaka. Depok.

Khairuman K, Amri. 2004. Budidaya Udang Galah Secara Intensif. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Khasani, I. 2005. Prospek dan permasalahan pengembangan udang galah GIMacro. Warta Jurnal Perikanan Indonesia 11(6):2-5.

Kordi, M. Ghufran H.  2007. Meramu Pakan Untuk Ikan Karnivora.  CV Aneka Ilmu. Semarang.

Marihati, Muryati, Nilawati. 2013. Budidaya Artemia Salina Sebagai Diversifikasi Produk dan Biokatalisator Percepatan Penguapan di Ladang Garam. 30 (1) : 64.

Murtiati, K. Simbolon, T. Wahyuni, Juyana. 2006. Penggunaan Biokatalisator Pada Budidaya Udang Galah, Jurnal Budidaya Air Tawar Volume 4 No. 1 Mei 2007 (19-26).

New, M.B. 2002. Farming Freshwater Prawns A Manual For The Culture Of  The Giant River Prawn Macrobrachium rosenbergii. FAO Fisheries, United Kingdom. 435 hlm.

Perdana, D. 2011. Sukses Bisnis Udang Galah. Pustaka Baru Press. Yogyakarta.

Priyono, S. B., Sukardi, dan Bonar, S. M. H. 2011. Pengaruh Shelter Terhadap Perilaku dan Pertumbuhan Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii). Jurnal Perikanan XIII (2): 78-75 ISSN. Jurnal Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada.

Rejeki, S. 2001. Pengantar Budidaya Perairan. Badan Penerbit UNDIP. Semarang.
Roslani, D. 2007. Monitoring Kualitas Air Selama Infeksi Penyakit Ekor Putih pada Udang Galah Macrobrachium rosenbergii De Man, 1879 di Cisolok, Sukabumi. Skripsi. Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sarifin., Kesit, T. W., Dasu, R., dan Susi, R. 2014. Untung 100% dari Budidaya Udang Galah. Agromedia. Jakarta Selatan.

Shailender, M. 2012. Observations On The Larval Rearing Of Macrobrachium rosenbergii (De Man) By Using Artemia Nauplii And Egg Custard As A Feed In Different Combinations. India. IOSR Journal of Agriculture and Veterinary Science.

Syafei, L. S. 2006. Pengaruh beban kerja osmotik terhadap kelangsungan hidup, lama waktu perkembangan larva dan potensi tumbuhan pascalarva udang galah. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Suhendra dan Paryono. 2004. Pembesaran Udang Galah Gi Macro di Kolam.

Wuwungan, H. 2009. Keragaan Benih Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) Hasil Perkawinan secara Inbreeding, Outbreeding, dan Crossbreeding. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 71 hlm.


Panen Larva
Larva

Tidak ada komentar:

Posting Komentar