eitz.. tenang-tenang, itu cuma sedikit kesenangan aku sama temen-temen PKL di Samas. iya, aku cuma ber 4 aja disana, tapi seru banget kok. Ya gimana dong, namanya PKL dipinggir pantai, jadi mantai terus, hihihihi
oke oke cukup basa-basinya, nah yuk sekarang kita kenali udang galah itu seperti apa dan bagaimana manajemen pemeliharaan larvanya.
MANAJEMEN PEMELIHARAAN LARVA UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) DI
UNIT KERJA BUDIDAYA AIR PAYAU SAMAS YOGYAKARTA
I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Udang galah (Macrobrachium
rosenbergii) merupakan salah satu spesies udang air tawar di Indonesia. Udang
galah merupakan udang yang paling populer dari keseluruhan udang air tawar
dikarenakan ukuran tubuhnya yang besar dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi
baik di pasar domestik maupun luar negeri. Departemen Kelautan dan Perikanan
(DKP) pada tahun 2001 telah menetapkan udang galah sebagai salah satu
alternatif komoditas unggulan. Pangsa pasar
yang besar serta kenggulan komparatif yang dimiliki udang galah menjadikan
komoditas andalan dan mampu bersaing dengan produk negara lain. Untuk mencapai
sasaran tersebut upaya pemuliaan udang galah menjadi salah satu alternatif
terbaik
(Hadie dan Hadie, 2002).
Selain pasar ekspor, prospek pasar udang
galah di dalam negeri pun cukup menjanjikan. Saat ini, potensi pasar udang
galah mencapai 10.500 ton per tahun. Jika total lahan budidaya udang galah di
kolam air tawar seluas 500 hektar, rata-rata panen setiap hektarnya sebanyak 4
ton, sehingga pembudidaya udang galah di kolam air tawar baru bisa memasok udang
galah sebanyak 2.000 ton per tahun atau 5,4 ton per hari untuk kebutuhan
seluruh Indonesia. Angka ini masih sangat rendah dan jauh di bawah tingkat
kebutuhan udang galah yang mencapai 28,7 ton per hari (Khairuman dan Amri,
2004).
Tingginya permintaan pasar terhadap
udang galah, perlu diimbangi dengan produksi udang galah. Untuk meningkatkan
produksi udang galah perlu adanya ketersediaan pasokan benih sehingga perlu
dilakukan kegiatan pembenihan udang galah untuk memenuhi permintaan pasar
tersebut. Namun demikian, penerapan teknologi dan pengelolaan budidaya yang
kurang tepat hanya akan menurunkan kualitas induk yang selanjutnya juga akan
mempengaruhi kualitas larva yang dihasilkan (Khasani, 2005).
Manajemen
(pengelolaan) pemeliharaan
larva sangat penting dalam budidaya perikanan, karena sampai saat ini produksi
benih udang galah di tanah air masih terbatas jumlanya. Di samping jumlah panti
pembenihan (hatchery) masih dapat
dihitung dengan jari, produksi per siklusnya pun tidak dapat dikatakan besar.
Disisi lain, permintaan benih udang galah oleh petani pembesaran tetap tinggi.
Dengan demikian, petani tidak punya pilihan untuk memperoleh benih yang paling
baik. Disamping itu, sebagian besar pembenihan udang galah yang ada saat ini
masih mengandalkan induk-induk dari alam atau dari hasil pemeliharaan di kolam
pembesaran. Artinya, dalam menghasilkn benih udang galah, manajemen induk yang
baik dan mempertimbangkan sifat genetiknya masih belum berjalan baik. Petani
masih dihadapkan pada kelangkaan benih dan seringkali menunggu antrian untuk
dapat memperoleh benih tersebut (Ali, 2009).
1.2.
Pendekatan
Masalah
Unit Kerja
Budidaya Air Payau Samas merupakan salah satu unit kerja dari Balai
Pengembangan Teknologi Kelautan dan Perikanan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Unit
Kerja Budidaya Air Payau Samas bergerak dalam usaha budidaya udang galah. Unit
kerja ini telah menerapkan teknologi yang dapat menjamin kualitas benih udang
galah. Oleh karena itu penulis memilih Unit Kerja Budidaya Air Payau Samas,
Yogyakarta sebagai lokasi praktek kerja lapangan. Kegiatan praktek kerja
lapangan ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengalaman, dan keterampilan
dalam bidang pembenihan udang galah khususnya manajemen pemeliharaan larva pada
udang galah. Sampai saat
ini, benur yang diproduksi hatchery belum dapat memenuhi
kebutuhan yang ada. Kendalanya adalah kurang stok induk udang, makanan yang
kurang cocok, serta teknik pemeliharaan larva dan pengelolaan yang belum
memadai, hal ini menyebabkan produksi rendah. Masalah yang dihadapi dalam
melakukan usaha pemeliharaan larva udang galah adalah keterbatasan pengalaman
dan teknologi yang dapat menjamin benih yang dihasilkan akan berkualitas baik.
Salah satu upaya guna mendapatkan benur berkualitas baik yaitu
selalu mengupayakan manajemen pemeliharaan yang optimal untuk pemeliharaan
larva.
1.3.
Tujuan
Tujuan
dilaksanakannya Praktek Kerja Lapangan (PKL) adalah untuk mengetahui manajemen pemeliharaan
larva udang galah di Unit Kerja Budidaya Air Payau (UKBAP) Samas.
1.4.
Manfaat
Kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL)
ini memberikan manfaat berupa pengalaman kerja di lapangan serta informasi
mengenai manajemen pemeliharaan larva udang galah (Macrobrachium rosenbergii)
yang diterapkan di Unit Kerja Budidaya Air Payau (UKBAP) Samas.
1.5.
Waktu dan Tempat
Kegiatan Praktek Kerja Lapangan ini
dilaksanakan pada tanggal 29 Januari 2015 sampai dengan 23 Februari 2015
bertempat di Unit Kerja Budidaya Air Payau (UKBAP) Samas, Yogyakarta.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii)
2.1.1. Klasifikasi
Menurut Ali (2009) Udang Galah termasuk
kedalam:
Kingdom :
Animalia
Filum :
Arthropoda
Subfilum :
Crustacea
Kelas :
Melacostraca
Subkelas :
Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Superfamili :
Palaemonoidea
Family : Palaemonidae
Genus : Macrobrachium
Spesies : Macrobrachium
rosenbergii

Gambar 1. Udang
Galah
2.1.2.
Morfologi
Badan udang
galah terdiri atas 3 bagian, yaitu kepala dan dada (cephalothorax), badan yang bersegmen-segmen (abdomen), serta ekor (uropoda).
Cephalothorax dibungkus oleh kulit
keras. Dibagian depan kepala terdapat suatu lempengan karapas yang bergerigi,
disebut rostrum. Pada rostrum bagian atas, terdapat duri 11-13
buah dan dibagian bawah rostrum 8-14
buah. Pada bagian cephalothorax juga
terdapat lima pasang kaki jalan. Pada udang jantan sepasang kaki jalan kedua
tumbuh panjang dan cukup besar menyerupai galah. Panjangnya dapat mencapai 1,5
kali panjang badannya. Pada udang betina kaki tersebut relatif kecil. Kaki
renang udang galah terdapat dibagian bawah abdomen,
jumlahnya lima pasang. Selain untuk berenang, kaki renang pada udang betina
juga berfungsi sebagai tempat menempelkan telur-telur (Ali, 2009).

Gambar
2. Morfologi Udang Galah
(Sumber
: New MB 2002)
Berikut
perbedaan udang galah jantan dan betina menurut Perdana (2011) yang
tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1.
Perbedaan udang galah jantan dan betina
Hal
|
Udang Jantan
|
Udang Betina
|
Ukuran tubuh
|
Relatif lebih
besar
|
Tubuh lebih
kecil
|
Kaki
|
Pasangan kaki
jalan yang kedua relatif lebih besar dan panjang (bahkan dapat mencapai 1,5
kali panjang total tubuhnya), selain itu pasangan kaki jalan terlihat lebih
rapat dan lunak
|
Pasangan kaki
jalan kedua tetap tumbuh lebih besar, tetapi tidak sebesar dan sepanjang
udang jantan
|
Perut
|
Bagian perut
lebih ramping
|
Bagian perut
lebih besar
|
Pleuron
|
Ukuran pleuron
lebih pendek
|
Pleuron
memanjang
|
Letak alat
kelamin
|
Alat kelamin
terdapat pada basis pasangan kaki jalan kelima
|
Alat kelamin
terdapat pada pangkal kaki ketiga, merupakan suatu lubang yang disebut thelicum
|
Adapun
alat reproduksi udang galah jantan terdiri dari organ internal yaitu sepasang vas deferen dan sepasang terminal ampula, dan organ eksternal
yaitu petasma yang terletak pada kaki
jalan yang ke 5 dan sepasang appendik
maskulina yang terletak pada kaki renang ke 2 yang merupakan cabang ke 3
dari kaki renang. Fungsi alat kelamin eksternal udang galah jantan adalah untuk
menyalurkan sperma dan meletakan spermatophora
pada alat kelamin betina (thelikum),
sehingga telur yang akan keluar dari saluran telur (oviduc) ke tempat pengeraman akan dibuahi oleh sperma dari thelikum. Petasma ini merupakan modifikasi dari bagian endopodit pasangan kaki renang pertama. Udang galah betina alat
reproduksinya terdiri dari organ internal yaitu sepasang ovarium dan sepasang
saluran telur, dan organ eksternal yaitu thelikum
yang terletak di antara kaki jalan ke 3. Pada bagian dalam thelikum terdapat spermatheca
yang berfungsi untuk menyimpan spermatophora
setelah terjadi kopulasi (Perdana, 2011).
2.1.3. Habitat
dan Kebiasaan Makan
Di dunia, populasi udang galah tersebar di
berbagai benua, mulai dari tanah Melayu, daratan Cina, Thailand, India, Jepang
(Asia), sampai ke Ekuador dan Amerika. Walaupun tersebar dengan berbagai
spesies, udang galah masih dalam satu genus, yaitu Macrobrachium. Udang galah biasanya hidup disungai-sungai besar
yang dekat dengan muara atau tinggal di lubuk-lubuk yang dalam dan beruaya
(berpindah secara berkelompok) di sepanjang badan sungai antara muara dan hulu
sungai yang masih bisa dijelajahinya. Udang galah termasuk makhluk yang toleran
terhadap lingkungannya. Binatang ini mampu hidup dalam kisaran kadar salinitas
yang luas. Dari kecil sampai dewasa, udang galah harus menjalani kehidupannya
di air dengan tingkat keasinan antara 0-12 ppt, adakalanya bahkan lebih (Ali,
2009).
Udang
galah hidup pada dua habitat, pada stadium larva hidup di air payau dan kembali
ke air tawar pada stadium juvenil hingga dewasa. Di dunia, udang galah
kebanyakan tersebar di daerah tropis dan subtropis yang termasuk bagian
indopasifik. Sebagian besar habitat udang galah yaitu di sungai yang
dipengaruhi oleh pasang surut, danau, waduk dan kolam. Di Indonesia, udang
galah banyak terdapat di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Irian Jaya.
Udang ini hidup di danau, saluran-saluran air dan perairan lainnya yang secara
langsung maupun tidak langsung mempunyai hubungan dengan sungai bahkan udang
ini juga ditemukan di sunga-sungai hingga sejauh 200 km dari muara Udang galah
bersifat omnivora, cenderung aktif
pada malam hari (nocturnal) (Perdana,
2011).
2.2.
Perkembangan Larva Udang
Galah
Udang galah yang sering disebut “giant freshwater prawn” dalam siklus hidupnya secara alami
memerlukan lingkungan perairan tawar dan payau (Wuwungan, 2009). Di alam, induk
udang galah dapat memijah di perairan tawar, lalu larvanya terbawa alioran sungai
hingga ke laut. Larva yang baru menetas memerlukan air payau sebagai tempat
hidupnya. Apabila larva tidak berada di lingkungan air payau selama 3-5 hari
semenjak menetas, maka larva tersebut akan mati. Apabila larva yang baru
menetas itu menemukan lingkungan hidup yang cocok maka larva akan dapat tumbuh
menjadi juvenil. Untuk mencapai tingkatan juvenil, larva tersebut harus melalui
11 tahap perkembangan larva. Pada setiap tahap terjadi pergantian kulit yang
diikuti dengan perubahan struktur morfologinya. Sampai tahap juvenil dicapai,
udang galah mulai memerlukan lingkungan air tawar sampai udang tersebut dewasa
(New, 2002).
Daur hidup udang
galah dimulai dari telur-telur yang sudah dibuahi dan dierami oleh induknya selama
19 - 21 hari dan menetas menjadi larva (Ling 1969). Larva yang baru menetas ini
memerlukan air payau sebagai tempat hidup. Apabila larva tidak berada di lingkungan
air payau selama 3 - 5 hari semenjak menetas, maka larva tersebut akan mati
(Mulyo 1987). Larva akan tumbuh menjadi postlarva (benih) apabila larva yang baru
menetas itu menemukan lingkungan hidup yang cocok, maka untuk mencapai
tingkatan postlarva, larva tersebut harus memenuhi 11 tahap perkembangan larva
dan berlangsung selama 30 - 35 hari dan pada setiap tahap terjadi pergantian
kulit (moulting) dengan perubahan
struktur morfologinya (metamorfosa) (Roslani 2007). Frekuensi pergantian kulit
pada udang galah berbeda-beda tergantung pada umur, jumlah dan kualitas pakan
serta lingkungan hidupnya. Udang galah muda pertumbuhannya lebih pesat,
sehingga proses pergantian kulitnya juga lebih cepat dibanding udang dewasa.
Udang yang molting kondisi tubuhnya lemah sehingga menjadi mangsa udang lainnya
yang tidak sedang molting (Suhendra dan Paryono 2004).
Berikut adalah gambar perkembangan larva udang galah stadia I – Post Larva:

Gambar 1. Perkembangan larva udang galah
(Sumber : Foster y Wickins, 1972)
2.3.Pemeliharaan Larva Udang Galah
Larva
adalah fase kehidupan setelah telur. kondisi tubuhnya masih lemah, bahkan bisa
dikatakan sebagai masa kritis. Meski kondisi tubuhnya lemah, bukan berarti
larva ini tidak mampu bertahan hidup. Pemeliharaan sebaiknya dilakukan pada bak
pemeliharaan larva. Persiapan bak pemeliharaan larva sama dengan persiapan
sarana dan prasarana pembenihan lainnya. Bak pemeliharaan larva dapat berupa fiberglass atau bak beton. Jika bak
sudah ada, segera isi dengan air (yang telah didisinfeksi) bersalinitas 12 ppt,
lalu diberi daun ketapang 100-200 gram/m3. Satu hal yang harus
diperhatikan adalah kepadatan. Jangan sampai kepadatannya terlalu tinggi atau
terlalu rendah. Kepadatan didasarkan pada volume satu liter Sarifin et al., (2014).
2.4.Pakan dan Cara Makan pada Udang Galah
Pakan dan
pemberian pakan merupakan salah satu faktor penting dalam budidaya
perairan/perikanan. Ikan atau biota budidaya lainnya membutuhkan pakan untuk
hidup, tumbuh dan berbagai aktivitasnya, seperti berenang, memelihara jaringan
tubuh, kekebalan, berkembang biak, dan lain-lain. Pakan untuk ikan budidaya
harus berkualitas (kebutuhan gizi ikan terpenuhi), tersedia dalam jumlah yang
cukup dan tepat waktu serta terus menerus (kontinu). Karena itu pembudidaya
ikan perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang faktor-faktor yang
terkait dengan penyediaan dan pemberian pakan (Kordi, 2007).
Pemilihan pakan
yang tidak tepat baik jumlah maupun kualitasnya akan mengakibatkan pertumbuhan
terhambat, selain itu kesehatan dan proses reproduksinya juga terganggu. Oleh
karena itu perlu diketahui jenis dan jumlah pakan yang akan digunakan.
Pemberian pakan dalam jumlah dan frekuensinya perlu diperhatikan, mengingat
pemberian pakan yang berlebihan dan tidak tepat waktunya akan mengakibatkan
penurunan kualitas air, peningkatan BOD, dan kesehatan ikan terganggu (Rejeki, 2001).
Minimal ada
empat hal yang harus mendapatkan perhatian dalam pemberian pakan udang galah
yaitu tepat mutu, tepat jumlah, tepat ukuran dan tepat frekuensi pemberian
pakan. Tepat mutu memiliki makna terkait dengan unsur gizi yang terkandung di
dalam pakan. Pakan yang diberikan pada udang galah harus memenuhi kebutuhan
nutrisi yang dibutuhkan oleh udang galah untuk hidup pokok, reproduksi, dan
pertumbuhan. Tepat jumlah menuntut pemakaian pakan yang sesuai dengan kebutuhan
udang galah yang dipelihara. Hal ini terkait dengan seberapa banyak pakan alami
yang tersedia di dalam kolam seperti plankton, bentos, dan hewan-hewan renik
lainnya yang mampu dikonsumsi udang. Tepat ukuran pakan adalah pemberian pakan
dengan ukuran yang disesuaikan dengan ukuran dan umur udang galah yang
dipelihara. Udang kecil lebih cenderung memilih pakan yang berukuran kecil
pula. Bila yang diberikan hanya pakan dengan ukuran besar, tentu udang galah
kecil memerlukan usaha keras dan mengeluarkan energi ekstra untuk menggerus dan
membawa-bawa pakan tersebut. Sebaliknya secara alamiah, udang yang besar
cenderung mengambil pakan yang juga berukuran besar. Bila yang diberikan pakan
kecil, waktu yang diperlukan udang galah untuk mengais pakan akan lebih lama.
Selain itu juga pakan akan hancur bila terlalu lama di air, akhirnya pakan
tersebut tidak dikonsumsi oleh udang. Tepat frekuensi pemberian pakan adalah
tingkat keseringan memberi pakan udang galah dalam sehari. Pada saat berumur 10
– 25 hari, larva diberikan pakan buatan dengan dosis 2 – 4 gram/ekor dengan
frekuensi pemberian 2 kali sehari, dan mulai ditingkatkan menjadi 4 – 6 gram /ekor
pada saat larva telah berumur 25 – 40 hari. Pakan diberikan secara ad satiation sebanyak 5 kali sehari
yaitu pada jam 08.00, 10.00, 12.00, 14.00 dan 16.00. Pemberian pakan buatan dilakukan
dengan cara mematikan aerasi dan menyebarkan secara sedikit demi sedikit pada
air hingga merata. Tujuan pemberian pakan secara sedikit demi sedikit
dimaksudkan agar pakan tidak segera tenggelam dan dapat dipegang oleh larva.
Pakan yang tenggelam biasanya tidak dimakan oleh larva dan mengendap di dasar
menjadi kotoran. Pemberian pakan dihentikan jika larva dalam bak pemeliharaan
secara sekilas telah memegang pakan buatan sendiri tanpa ada yang saling
berebut dan aerasi dihidupkan kembali (Ali, 2009).
2.5.Kualitas
Air
Suhu memegang
peranan penting untuk pertumbuhan organisme budidaya. Pada organisme berdarah
panas, energi diperlukan untuk menjaga suhu tubuhnya. Sedangkan organisme
budidaya yang merupakan organisme berdarah dingin, tidak memerlukan energi
untuk mempertahankan suhu tubuhnya. Dalam hal ini, organisme budidaya lebih
efisien dalam mengkonversikan pakannya dibandingkan dengan organisme berdarah
panas. Namun demikian, karena organisme budidaya merupakan organisme berdarah
dingin, makan pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh suhu tubuhnya, sehingga
organisme budidaya dari daerah sub-tropis yang lebih rendah pertumbuhannya
lebih lambat dibandingkan organisme budidaya di daerah tropis. Suhu media yang
diperlukan oleh organisme budidaya sangat bervariasi tergantung pada spesies
dan suhu air disekitarnya pada saat masa aklimatisasi (Rejeki, 2001).
Suhu yang optimal untuk pemeliharaan larva udang galah
berkisar antara 28 – 31oC (New et.
al. (2004). Bila
suhu air di siang hari melebihi 31oC dan malam hari suhu sampai di
bawah 25oC udang galah akan terpapar pada kondisi yang tidak nyaman.
Udang galah dapat tumbuh dan hidup pada kisaran suhu optimum 25-31oC,
tetapi akan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 28-30oC. tingginya
fluktuasi suhu berakibat pada pengurasan energi yang sia-sia dari tubuh udang
galah untuk bertahan hidup. Tidak saja pertumbuhannya yang lambat, kondisi ini
juga akan membuat udang stress,
kurang nafsu makan, sakit, dan akhirnya mati. Udang galah secara alami mampu
mentolerir kandungan kadar garam di air sampai 10 ppt, kira-kira sepertiga
asinnya air laut. Namun pertumbuhan udang galah di air tawar tetap lebih cepat
di banding dengan di air berkadar garam. Dalam praktik dibanyak negara, air
bersalinitas sampai 3-4 ppt masih direkomendasikan. Hal ini berkaitan dengan
kandungan kesadahan CaCO3 di air. Namun demikian, kesadahan yang
berlebihan dapat memperlambat pertumbuhan udang galah. Nilai kesadahan air yang
disarankan tidak lebih dari 150 mg/l CaCO3 (Ali, 2009).
Salinitas
dapat didefinisikan sebagai total konsentrasi ion-ion terlarut dalam air. Dalam
budidaya perairan, salinitas dinyatakan dalam permil (‰) atau ppt (part
perthousand) atau g/l. Salinitas berpengaruh terhadap reproduksi,
distribusi, osmoregulasi. Salinitas menggambarkan padatan total di air setelah
semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan
dengan klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi (Agus, 2003). Salinitas
merupakan salah satu parameter penting bagi organisme estuarine dan berperan dalam mekanisme fisiologi. Secara alami,
udang galah termasuk binatang yang beruaya ke perairan payau untuk memijah dan
menetaskan telur. Setelah telur menetas, larva akan mengalami metamorfosis
hingga mencapai stadia post larva dan
akan kembali beruaya ke air tawar hingga dewasa. Pada perkembangan
larva, udang galah
membutuhkan air payau
salinitas 8 — 22
permil, sedangkan dan tingkat
pasca lava sampai
bertelur hidup dalam air
tawar maupun payau (Ling
1967). Sedangkan Himawan dan Ikhsan (2010) menyatakan kisaran salinitas
air yang ideal untuk pemeliharaan udang galah adalah 10‰ - 15‰.
Kandungan DO yang baik untuk pemeliharaan larva udang galah
yaitu > 5 ppm dan pH yang optmal untuk pemeliharaan larva udang galah yaitu
berkisar antara7 - 8,5 (New et. al., 2004). Sedangkan menurut Murtiarti (2007) kandungan
DO yang baik minimum 4 ppm (diukur dengan DO meter). Apabila kandungan DO
rendah, udang akan berenang ke permukaan air atau pinggir tambak. Apabila
diganggu atau terkena bayangan orang, udang tersebut tidak segera masuk ke
permukaan yang lebih dalam. Untuk menghindari hal tersebut makan sebaiknya di
dalam kolam atau tambak menggunakan blower atau kincir air dalam jumlah yang
cukup, tambahkan air segera, jaga warna dan kualitas air tetap stabil, dan
ubahlah jumlah makanan yang diberikan agar tidak terkumpul didasar. pH
air yang baik sekitar 7,5-8,5 yang diukur secara tetap. Apabila pH rendah perlu
ditambahkan kapur, dan pH tinggi perlu penambahan air bersih baru. Tingkat kehilangan pakan (pakan tidak terkonsumsi) yang
tinggi menyebabkan kualitas air mengalami penurunan yang cepat, yang ditandai
dengan kadar amonia dan nitrit yang tinggi. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, maka pergantian air merupakan hal yang harus dilakukan secara rutin,
khususnya pada budidaya udang galah skala semi intensif dan intensif. Batas
kadar amonia yang aman bagi udang galah adalah dibawah 0,1 mg/l. Kadar amonia
yang mencapai 0,6 mg/l dapat mematikan udang dalam waktu singkat
(Perdana, 2011). Konsentrasi nitrit maximum yang diperbolehkan dalam kegiatan
budidaya ikan adalah < 0,06 mg/l, sedangkan untuk konsentrasi nitrat
maksimum yaitu 0,03-4,2 mg/l.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Persiapan
Wadah Pemeliharaan Larva
4.1.2. Manajemen Pemberian Pakan
Berdasarkan hasil Praktek Kerja
Lapangan diketahui bahwa pakan yang diberikan pada larva adalah pakan alami dan
pakan buatan. Pakan alami yang digunakan yaitu berupa artemia. Artemia
diberikan sebanyak satu liter dengan kepadatan 24 individu/ml. Sedangkan untuk pakan
buatan yang digunakan yaitu egg custard.
Egg custard diberikan pada larva
sampai larva kenyang. Feeding regime
yang diterapkan di UKBAP Samas adalah sebagai berikut.
---------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------
Keterangan
:
Egg
custard yang digunakan yaitu egg
custard yang terbuat dari telur bebek. Cara pembuatan egg custard dapat dilihat pada lampiran 2. Berikut bahan untuk
membuat egg custard yang tersaji pada tabel 4.
Tabel 4.
Bahan untuk membuat egg custard
No
|
Bahan
|
Jumlah
|
1.
|
Telur Bebek (putih+kuning)
|
30 butir
|
2.
|
Susu
|
500 gr
|
3.
|
Tepung
|
250 gr
|
4.
|
Air
|
1 liter
|
Sumber: Standar Operasional Prosedur Budidaya
Udang Galah di UKBAP Samas
4.1.3. Data Kelulushidupan
(SR)
Hasil Survival Rate (SR) pada praktek kerja lapangan mengenai manajemen pemeliharan larva udang galah tersaji
pada Tabel 5.
Tabel 5.
Hasil Survival Rate (SR)
Bak
|
Larva
(Tebar)
|
Post
Larva
|
SR (%)
|
B1
B2
B3
B4
B5
|
30.000
30.000
30.000
30.000
30.000
|
15.900
15.600
15.600
15.900
16.200
|
53
52
52
53
54
|
Sumber: Hasil Praktek Kerja
Lapangan
4.1.4. Pengelolaan Kualitas
Air
Pengelolaan kualitas air dengan cara
membersihkan bak melalui penyifonan yang dilakukan setiap satu minggu sekali.
Kemudian melakukan pergantian air setiap satu minggu sekali sebanyak 50 - 75%
dari volume semula, membuang larva yang mati dan memonitoring kualitas air. Pengukuran kualitas air dilakukan seminggu sekali menggunakan Water Quality Checker (WQC). Untuk
menjaga kualitas air tetap baik maka dilakukan penyifonan satu minggu sekali. Berikut hasil
pengukuran kualitas air tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil pengukuran kualitas air
Bak
|
Suhu
(oC)
|
pH
|
DO
(mg/l)
|
B1
|
28-31,5
|
7,99-8,23
|
3,9-4,2
|
B2
|
28,6-32
|
7,53-8,07
|
4,1-4,2
|
B3
|
29-32,5
|
7,58-8,19
|
3,7-4,4
|
B4
|
30-31,5
|
7,34-8,22
|
3,9-4,4
|
B5
|
30-32
|
7,34-8,19
|
4-4,6
|
Sumber:
Hasil Praktek Kerja Lapangan
4.2. Pembahasan
4.2.1. Persiapan
Media Pemeliharaan Larva
Berdasarkan
hasil yang diuraikan diatas diketahui bahwa bak pemeliharaaan berbentuk persegi
panjang, terletak didalam hatchery, berbahan semen dan batu bata berjumlah 5
buah dengan ukuran yang berbeda-beda. Pada sudut bak dibuat melingkar atau
tanpa sudut dengan tujuan memperluas gerak larva dan menghindari adanya death corner. Sebelum digunakan bak
terlebih dahulu direndam dengan menggunakan air tawar yang telah diberi kaporit
dengan dosis 15 ppm selama kurang lebih 24 jam dan diaerasi kuat. Tujuan dari
perendaman kaporit yaitu untuk membunuh patogen yang dimungkinkan terdapat pada
bak. Setelah 4 jam bak dicuci dan digosok dengan menggunakan detergen hingga
bau dan sisa kaporit hilang. Kemudian dicuci bersih hingga bau dan sisa
detergen hilang karena bau dan sisa detergen dapat berdampak pada menurunnya
kualitas air dan bersifat toksin atau beracun. Setelah itu dikeringkan selama
kurang lebih 1 – 2 hari untuk mematikan bakteri atau patogen lainya yang
dimungkinkan masi tertinggal di dalam bak pemeliharaan. Setelah pengeringan,
bak pemeliharaan larva udang galah (Macrobrachium rosenbergii) diisi air
payau dengan salinitas 10 - 12 ppt hingga air mencapai 75 cm. Hal ini sesuai
dengan pendapat Ali (2009) bahwa udang galah stadia post larva dan udang galah dewasa merupakan hewan perairan tawar
murni, tetapi pada stadia larva hidup di air payau. Pengisian air menggunakan
pipa PVC yang disaring dengan filter bag.
Penggunaan filter bag ini
bertujuan untuk menyaring air agar kotoran tidak masuk ke wadah pemeliharaan.
Sebelum larva ditebar, air diaerasi terlebih dahulu sebanyak 12 titik selama 24
jam. Aerasi dilakukan untuk menyuplai oksigen sehingga kebutuhan oksigen
tercukupi. Menurut Abuzar et al. (2012)
bahwa Aerasi merupakan istilah lain dari tranfer gas, lebih dikhususkan pada
transfer gas oksigen atau proses penambahan oksigen ke dalam air.
Larva
yang ditebar di dalam bak dengan volume air 2000 liter yaitu sebanyak 30.000
ekor atau dengan padat tebar 15 ekor/l, padat tebar tersebut dinilai kurang
maksimal karena menurut Hadie dan Hadie (1993), padat penebaran larva yang
paling baik berkisar antara 100-150 ekor/l. Padat tebar hanya 15 ekor/l karena
penebaran larva bergantung pada jumlah larva yang dihasilkan oleh induk. Padat
tebar yang berlebihan juga kurang kurang baik karena selain mengurangi ruang
gerak, juga akan berpengaruh pada kebutuhan oksigen. Pada padat tebar tinggi,
akan terjadi persaingan dalam komsumsi oksigen sehingga akan berpengaruh pada
kelulushidupan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Salmin (2012) bahwa Oksigen
terlarut (Dissolved Oxygen)
dibutuhkan oleh semua jasad hidup untukpernapasan, proses metabolisme atau pertukaran
zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping
itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam
proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu
proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup
dalam perairan tersebut.
Saat
dilakukan praktek kerja lapangan, telur yang menetas dari hasil pemijahan induk
udang galah kurang lebih sebanyak 150.000 ekor. Sehingga karena terdapat 5 bak
yang telah disiapkan, maka masing-masing bak ditebar sebanyak 30.000 ekor atau
dengan padat tebar 15 ekor/l. Setelah telur yang menetas dipanen, jumlahnya
dihitung, kemudian dilakukan penebaran larva ke dalam bak pemeliharaan larva.
Proses perhitungan larva dilakukan dengan cara larva yang telah ditampung dalam
baskom airnya diputar pelan agar larva tidak berkumpul pada satu titik. Kemudian
diambil sampel larva sebanyak 10 ml dengan menggunakan makropipet yang kemudian
dimasukkan ke dalam gelas ukur. Perhitungan sampel dilakukan secara manual
kemudian hasilnya dikalikan dengan volume air yang ada pada baskom. Perhitungan
larva pada bak pemeliharaan harus dilakukan secepatnya supaya larva lainnya
tidak stres. Larva yang stres ditandai dengan terapungnya larva dipermukaan
air. Proses perhitungan yang lama sangat dihindari karena larva yang stres
rawan akan kematian. Penebaran larva dilakukan dengan cara menuangkan larva
yang telah ditampung dalam baskom ke dalam bak pemeliharaan secara
perlahan-lahan dan hati-hati untuk mencegah supaya larva tidak stres.
4.2.2. Manajemen
Pemberian Pakan
Hasil dari Praktek Kerja lapangan diketahui bahwa pemberian pakan
tidak langsung dilakukan pada saat larva ditebar, melainkan satu hari setelah
penebaran. Pakan yang diberikan pertama kali pada larva udang galah berupa
pakan alami, setelah larva berumur 8 – 10 hari diberi pakan tambahan berupa
pakan buatan. Pakan alami yang diberikan yaitu artemia, sedangkan untuk pakan
buatan yaitu egg custard.
Artemia diberikan ketika larva berumur satu hari, hal tersebut
dilakukan untuk mencegah terjadinya kanibalisme. Artemia diberikan ketka larva
berumur satu hari sebanyak 24 ind/ml. Menurut Sarifin (2014), setelah kuning
telur habis, baru larva mulai makan. Ketika kuning telur habis, larva diberi
pakan tambahan karena sifat kanibalismenya akan muncul dan larva-larva itu bisa
memakan temannya sendiri. Sebelum diberikan pada larva udang galah, kista artemia dikultur terlebih dahulu, dengan tujuan agar kista yang tidak termakan tersebut tidak mengotori permukaan bak. Sebelum dikultur, dilakukan dekapsulasi terlebih dahulu dengan
tujuan dekapsulasi yaitu untuk mempercepat penetasan kista, dan sterilisasi agar tidak patogen. Hal ini sesuai dengan pendapat
Kordi (2007), bahwa perlakuan dekapsulasi dimaksudkan untuk menipiskan kulit kista
artemia, sehingga proses penetasannya lebih cepat.
Dalam
proses dekapsulasi menggunakan
kaporit sebagai bahan untuk dekapsulasi. Tujuan penggunaan kaporit adalah agar
kista tidak patogen. Dekapsulasi dimulai dengan merendam kiste di
air tawar dengan tujuan
untuk menghidrasi kista, hal ini sesuai dengan pendapat Hadie dan
Hadie (2002), sebelum dimasukan kedalam media, telur terlebih dahulu direndam
di air tawar (± 1 jam) agar terhidrasi air tawar kedalam kulit telur. Dalam
keadaan demikian, telur mempuanyai berat jenis yang lebih rendah daripada air
laut sehingga setelah telur menetas, kista akan mengapung.
Pemberian
pakan berupa
artemia dilakukan tiga kali sehari pada pukul 08.00, 12.00 dan 16.00 dengan dosis terbanyak yaitu pada pukul 16.00, hal ini
dikarenakan udang bersifat nocturnal
sehingga persediaan pakan untuk malam hari diperlukan lebih banyak dari pagi
hari. Pada saat pemberian pakan artemia, aerasi harus dimatikan terlebih
dahulu. Egg custard merupakan pakan
buatan yang diberikan ketika larva berumur tujuh hari. Egg custard diberikan setiap dua jam sekali yaitu pada pukul 08.00,
10.00, 12.00, 14.00, dan 16.00. Egg
custard yang diberikan pada pemeliharaan larva udang galah yaitu egg custard yang menggunakan telur bebek sebagai sumber proteinnya, hal ini dikarenakan telur bebek memiliki sumber protein yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Hadie dan Hadie (2002), pakan buatan berfungsi sebagai pakan pelengkap maka
komposisi bahan yang digunakan dan kandungan nutrisinya cukup bervariasi,
terutama kadar protein harus cukup tinggi (54,9%).
Selain
itu juga komposisi egg custard
menggunakan susu
berkalsium tinggi. Pemberian pakan dengan artemia dan egg custard diketahui berdampak baik
untuk larva udang galah bila dibandingkan dengan hanya pemberian artemia atau
pemberian egg custard saja. Hal ini
sesuai dengan pendapat Shailender (2012), bahwa
pemberian pakan menggunakan artemia dan ditambah egg custard dapat berpengaruh pada meningkatnya kelulushidupan
larva udang galah dibandingkan dengan pemberian pakan menggunakan artemia atau egg custard saja.
4.2.3. Kelulushidupan
(SR)
Berdasarkan hasil praktek kerja lapangan,
diketahui bahwa rata-rata tingkat kelulushidupan (SR) pada larva udang galah yang
dibudidayakan di Unit Kerja Budidaya Air Payau (UKBAP) Samas rata-rata sebesar 53
%. Hasil tersebut didapatkan dari awal penebaran larva pada kelima bak adalah
sebanyak 150.000 ekor dan saat panen diketahui jumlah postlarva adalah sebanyak
80.000 ekor. Hasil kelulushidupan tersebut membuktikan bahwa udang galah
memiliki tingkat kelangsungan hidup yang masih rendah karena kurangnya
kemampuan larva udang galah untuk bertahan hidup.. Sesuai
dengan pendapat Effendi (1997), kelangsungan hidup dapat digunakan sebagai
tolak ukur untuk mengetahui toleransi dan kemampuan organisme budidaya untuk
hidup.
Tingkat
kelangsungan hidup pada larva udang galah dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Salah satu faktor yang mempengaruhi yaitu kebutuhan akan nutrisi. Seperti yang
telah diketahui bahwa udang bersifat kanibalisme, sifat kanibalisme ini dapat
dicegah dengan memberikan makanan yang cukup. Ini sesuai dengan pendapat
Khairuman dan Amri (2003) bahwa kandungan nutrisi pakan udang yang baik tidak
hanya mampu mempercepat pertumbuhan udang galah, tetapi juga memberikan daya
tahan yang baik bagi udang, di samping menambah kepadatan dan kekenyalan
tubuhnya. Faktor lain yang mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup larva yaitu
kualitas air. Berdasarkan hasil yang didapat, pada parameter suhu menunjukkan
fluktuasi yang cukup tiggi yaitu sebesar 4oC. Hal tersebut akan
menyebabkan stress pada larva sehingga menyebabkan rendahnya tingkat
kelangsungan hidup larva. Selain itu juga kadar DO yang dinilai masih dibatas
rata-rata. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Hadie dan Hadie (2002) yang
menyatakan perbedaan suhu 2oC dapat berakibat buruk terhadap larva
udang.
4.2.4. Pengelolaan Kualitas Air
Pengelolaan kualitas air pada
pemeliharaan larva di UKBAP Samas menggunakan sistem clear water, yaitu air pada
media pemeliharaan diusahakan bersih tanpa penambahan plankton atau pakan alami
selain artemia. Oleh karenanya untuk menjaga ai tetap bersih dilakukan
penyifonan dan pergantian air. Penggantian air dilakukan sebanyak 75% dari
volume total media, atau tergantung pada kekeruhan air. Penyifonan dilakukan
bila lumut pada dasar dan dinding bak, serta kotoran dan sisa pakan telah
menumpuk. Pergantian air menggunakan selang spiral satu buah pada satu bak,
berdiameter 2 inci yang diberi paralon dan penyaring agar larva tidak terbuang.
Penyifonan dilakukan menggunakan selang berdiameter 0,5 inci yang ujungnya
diberi paralon berbentuk “T” yang diberi lubang dan spon kasar dan pegangan
paralon untuk memudahkan penyifonan.
Pengukuran kualitas air
dilakukan menggunakan Water Quality Checker.
Pengukuran kualitas air hanya dilakukan pada beberapa parameter saja karena
keterbatasan alat yang tersedia. Suhu yang di dapatkan pada pengamatan kualitas
air yaitu berkisar antara 28-32,5o C. Hasil tersebut hampir sama
dengan pendapat Hadie dan Hadie (2002) bahwa suhu optimum pemeliharaan larva
udang galah adalah 29-31oC. Suhu sempat dibawh optimum yaitu 28oC
karena saat kegiatan sedang musim hujan sehingga mempengaruhi suhu dari media
pemeliharaaan larva. Tetapi menurut Syafei (2006) nilai parameter suhu 28o
C merupakan nilai terbaik dalam pemeliharaan larva udang galah. pH yang
didapatkan pada pengamatan kualitas air yaitu berkisar antara 7,34-8,23
sedangkan menurut Khairuman dan Amri (2003) pH optimal untuk produksi larva
udang galah yaitu 6,5-8,5. DO yang didapatkan pada pengamatan kualitas air
yaitu berkisar antara 3,7-4,6. Kadar DO tersebut termasuk aman, karena menurut New
(2002) kandungan oksigen terlarut yang optimal untuk udang galah berkisar 3-8
mg/liter, dan menimbulkan stres jika di bawah 2 mg/liter, sedangkan menurut Khairuman
dan Amri (2003) kadar DO untuk produksi larva udang galah yaitu >5 mg/l.
Amonia dan nitrit yang
didapatkan pada pengamatan kualitas air tidak
terdeteksi (ttd).
Sedangkan menurut pernyataan Ali (2009) bahwa kadar yang disarankan untuk
amonia yaitu <0,3 dan kadar yang disarankan untuk nitrit yaitu >2,0.
4.2.5. Kultur Pakan Alami
Berdasarkan
praktek yang telah dilakukan, dapat diketahui kultur pakan alami yang dilakukan
di UKBAP Samas yaitu meliputi persiapan wadah, dekapsulasi artemia.Wadah yang
digunakan untuk kultur pakan alami adalah konikel tank yang terbuat dari
fiberglass berbentuk kerucut, dengan volume air 50 liter. Sebelum digunakan
wadah terlebih dahulu dibersihkan dengan cara digosok dengan menggunakan spon,
kemudian dibilas dengan menggunakan air tawar. Setelah bersih adah diisi dengan
air laut bersalinitas 29 ppt.
Proses
dekapsulasi dilakukan dengan cara merendam kista artemia sebanyak 425 gram (1
kaleng) dengan air tawar 2 liter selama 60 menit, kemudian direndam dengan
larutan kaporit sebanyak 300 gram menggunakan saringan, kista direndam dan
diaduk hingga warna kista menjadi krem, lalu dibilas hingga bersih. Perlakuan
tersebut diulang hingga warna kista menjadi orange, lalu dibilas hingga bau
kaporit hilang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hadie dan Hadie (2002),
sebelum masuk ke dalam media, telur terlebih dahulu di rendam dalam air tawar
agar terhidrasi air tawar ke dalam kulit telur. Kultur artemia dilakukan dalam
wadah konikel tank berbentuk kerucut agar mudah dalam pemanenan dan penyebaran
aerasi. Artemia yang sudah didekapsulasi kemudian dimasukkan secara merata
dalam konikel yang sudah disiapkan. Salinitas yang digunakan adalah 29 – 30
ppt. Pemanenan artemia diawali dengan pengangkatan aerasi dari bak penetasan
kemudian didiamkan selama 10 – 15 menit agar cangkang artemia mengendap.
Setelah itu, selang dengan diameter 2 cm sebanyak 2 buah dimasukkan ke dalam
bak penetasan.
Artemia
ditampung menggunakan scopnet dengan ukuran mata jaring 150 mikron. Setelah
dipanen, dilakukan pencucian artemia menggunakan air tawar. Artemia yang telah bersih
di masukkan ke dalam ember dan diisi dengan air laut untuk diberikan pada
larva.
V. KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari
praktek kerja lapangan mengenai manajemen pemeliharaan larva udang galah di Unit Kerja Budidaya Air Payau (UKBAP) Samas yaitu persiapan
wadah berupa bak pemeliharaan, pengaturan padat tebar yaitu sebanyak 15 ekor/l,
pemberian pakan yaitu berupa paakan alami berupa artemia dan pakan buatan
berupa egg custard serta pengelolaan kualitas air dengan
melakukan penyifonan setiap satu minggu sekali.
5.2.
Saran
Saran yang dapat diberikan dalam proses manajemen
pemeliharaan larva udang galah di Unit Kerja Budidaya Air Payau adalah diperlukannya
pemantauan baik kualitas air, manajemen pakan, dan faktor pendukung lainnya
agar tingkat kelulushidupan semakin meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Agus,
B. 2003. Budidaya Udang Galah Sistem Monokultur. Kansius. Yogyakarta.
Ali,
Fauzan. 2009. Mendongkrak Produktivitas Udang Galah Hingga 250 %. Penebar Swadaya. Depok.
Effendi, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka
Nusatama. Bogor.
Forster,
J. R. M., Wickins, J. F. 1972. Prawn culture in United Kingdon its status and
potential. Lab. Leaf. Fish. Lab. Lowestoft, New series, pages 27- 32.
Hadie, L.E dan
W. Hadie. 2002. Budidaya Udang Galah GI Macro. Penebar Swadaya, Jakarta.
Hamzah, M. 2004. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan
juvenil udang gala (Macrobrachium
rosenbergii de Man) pada berbagai tingkat salinitas media. Tesis. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Himawan,
Yogi dan Ikhsan, Khasani. 2010. Pengaruh
Salinitas Terhadap Lama Waktu Inkubasi dan Daya Tetas Telur Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii). Loka Riset
Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar. Subang
Jayalakshmy, B.
& Natarajan, P. 1996. Influence of salinity on fertilization and hatching
of Macrobrachium idella under
laboratory condition. J. Aqua. Trop.,11
: 33-38.
Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2010. Peningkatan
Produktifitas Budidaya Udang Galah Melalui Pendekatan Genetis, Lingkungan dan
Pakan. Laporan Akhir Kegiatan Peneitian.
Khairuman,
dan Amri, Khairul. 2003. Budidaya Udang Galah. Agro Media
Pustaka. Depok.
Khairuman
K, Amri. 2004. Budidaya Udang Galah Secara Intensif. Jakarta: Agromedia
Pustaka.
Khasani,
I. 2005. Prospek dan permasalahan pengembangan udang galah GIMacro. Warta Jurnal Perikanan Indonesia 11(6):2-5.
Kordi,
M. Ghufran H. 2007. Meramu Pakan Untuk
Ikan Karnivora. CV Aneka Ilmu. Semarang.
Marihati,
Muryati, Nilawati. 2013. Budidaya Artemia Salina Sebagai Diversifikasi
Produk dan Biokatalisator Percepatan Penguapan di Ladang Garam. 30 (1) : 64.
Murtiati,
K. Simbolon, T. Wahyuni, Juyana. 2006. Penggunaan Biokatalisator Pada Budidaya
Udang Galah, Jurnal Budidaya Air Tawar Volume 4 No. 1 Mei 2007 (19-26).
New,
M.B. 2002. Farming Freshwater Prawns A Manual For The Culture Of The Giant River Prawn Macrobrachium
rosenbergii. FAO Fisheries, United Kingdom. 435 hlm.
Perdana, D. 2011. Sukses Bisnis Udang Galah. Pustaka
Baru Press. Yogyakarta.
Priyono,
S. B., Sukardi, dan Bonar, S. M. H. 2011. Pengaruh Shelter Terhadap Perilaku
dan Pertumbuhan Udang Galah (Macrobrachium
rosenbergii). Jurnal Perikanan XIII (2): 78-75 ISSN. Jurnal Perikanan,
Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada.
Rejeki, S. 2001. Pengantar Budidaya Perairan. Badan
Penerbit UNDIP. Semarang.
Roslani,
D. 2007. Monitoring Kualitas Air Selama Infeksi Penyakit Ekor Putih pada Udang
Galah Macrobrachium rosenbergii De
Man, 1879 di Cisolok, Sukabumi. Skripsi. Program Studi Teknologi dan Manajemen
Akuakultur. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sarifin.,
Kesit, T. W., Dasu, R., dan Susi, R. 2014. Untung 100% dari Budidaya Udang
Galah. Agromedia. Jakarta Selatan.
Shailender,
M. 2012. Observations On The Larval
Rearing Of Macrobrachium rosenbergii (De Man) By Using Artemia Nauplii
And Egg Custard As A Feed In
Different Combinations. India. IOSR Journal of Agriculture and
Veterinary Science.
Syafei, L. S. 2006.
Pengaruh beban kerja osmotik terhadap kelangsungan hidup, lama waktu perkembangan larva dan potensi tumbuhan pascalarva udang galah.
Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suhendra
dan Paryono. 2004. Pembesaran Udang Galah Gi
Macro di Kolam.
Wuwungan,
H. 2009. Keragaan Benih Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) Hasil Perkawinan secara Inbreeding, Outbreeding, dan Crossbreeding. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 71 hlm.
Panen Larva
Larva
Tidak ada komentar:
Posting Komentar